Minggu, 01 November 2015

Materi 4 Ragam dan Laras (Sastra, Jurnalistik, Media dll)

PENGGUNAAN RAGAM BAHASA JURNALISTIK DALAM MEDIA MASSA 
  1. A.   Bahasa Jurnalistik
Pada umumnya kita semua pasti sudah mendengar kata-kata jurnalistik itu sendiri. Jurnalistik atau yang sering kita dengar dengan sebutan wartawan ini sangat erat kaitannya dengan hal ihwal yang berkaitan dengan pemberitaan atau penyebarluasan suatu informasi dalam bentuk berita. Dan jika kita ingin menjadi seorangjurnalistik selain kita dituntut harus kreatif, kita juga dituntut untuk dapat menguasai kosa kata dalam bahasa dan memahami ragam bahasa Indonesia itu sendiri.
Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara. Ragam bahasa yang baik adalah ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam bahasa yang baik (mempunyai presentasi yang tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah, atau di dalam surat menyurat yang bersifat resmi (seperti surat dinas), itu semua disebut sebagai ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.[1]
Salah satu diantara ragam bahasa Indonesia yang ada di antaranya yaitu bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik atau yang biasa dikenal dengan bahasa pers ini, merupakan salah satu ragam bahasa yang kreatif dari bahasa Indonesia, selain ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra). Bahasa ini sering digunakan oleh para wartawan atau jurnalistik.[2]
Bahasa Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Disebut juga sebagai Bahasa Komunikasi Massa (Language of Mass Communication, atau disebut pula dengan Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik seperti radio dan TV, maupun komunikasi tertulis seperti media cetak. Dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.[3]
Namun seperti yang kita lihat saat ini, masih ada sebagian orang yang memandang negatifterhadap bahasa yang digunakan oleh kaum jurnalistik tersebut.Hal tersebut dikarenakan bahwa, bahasa jurnalistik terlanjur dianggap sebagai perusak dari bahasa Indonesia dan dianggap sebagai bahasa yang tidak pantas untuk digunakan. Padahal bahasa yang digunakan oleh para wartawan itupun adalah bahasa Indonesia yang tetap bersandarkan pada bahasa baku.
Ragam bahasa jurnalistik itupun memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang dapat membedakan ragam bahasa jurnalistik dengan ragam bahasa yang lain. Dan bahasa jurnalistik yang baik itu haruslah sesuai dengan norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan-susunan kalimat yang benar dan pemilihan kata yang tepat. Bahkan laras bahasa jurnalistik itupun termasuk dalam laras bahasa baku.[4]
Yang membedakan bahasa jurnalistik dengan bahasa Indonesia itu hanyalah terdapat pada penggunaannya saja. Karena bahasa jurnalistik itu digunakan sebagai bahasa dalam penyampai informasi. Sehingga memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan bahasa lain. Ciri khas dari bahasa jurnalistik itu yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas dan menarik. Serta ditandai dengan penghemataan kata-kata atau pemendekan kalimaat. Tergantung dengan jenis tulisan apa yang akan diberitakan.
Jadi, ciri utama dari bahasa jurnalistik ini secara umum diantaranya yaitu menggunakan bahasa yang sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populer, logis, gramatikal, mengutamakan kalimat aktif, menghindari kata atau istilah teknis, dan menghindari istilah asing. Serta, bahasa jurnalistik initunduk pada kaidah dan etika bahasa baku dalam bahasa Indonesia.[5]
Adapun ciri khas dari bahasa jurnalistik itu sendiri biasa disebut dengan gaya selingkung. Gaya selingkung merupakan gaya bahasa yang ditentukan redaksi sebagai salah satu ciri khas dan karakteristik dari bahasa jurnalistik itu sendiri.[6]Dan secara garis besar bahasa jurnalistik itu memiliki dua ciri khas yaitu komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menuju pada materi yang ingin dibahas atau langsung ke pokok persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi. Dan spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek, memiliki kata-kata yang jelas, dan mudah dimengerti orang awam.[7]
Dan untuk karakteristik bahasa jurnalistik ini dipengaruhi oleh banyak hal yang tekait dengan penentuan yang berkenaan dengan permasalahan apa yang akan dibicarakan, jenis tulisan, pembagian tulisan, dan sumber/bahan tulisan. Namun, bahasa jurnalistik tidak boleh bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosa kata, struktur, sintaksis, dan wacana.[8]
Dan menurut Jus Badudu sendiri (1992:62), bahasa jurnalistik itu harus sederhana, mudah dipahami, teratur, dan efektif.[9] Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami itu sendiri berarti bahwa bahasa jurnalistik itu harus menggunakan kata dan struktur kalimat yang memang mudah dimengerti oleh para pembaca nantunya. Untuk bahasanya yang teratur itu berarti setiap kata dalam kalimat yang digunakan tersebut harus ditempatkan sesuai dengan kaidahnya masing-masing. Sedangkan untuk bahasanya yang efektif itu berarti bahasanya tidak boleh berbelit-belit, tetapi tidak boleh juga terlalu hemat dalam penggunaan kata dan kalimat. Karena hal tersebut akan menimbulkan makna dalam kalimat tersebut menjadi tidak jelas.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa bahasa jurnalistik itu sendiri adalah bahasa yang digunakan oleh para wartawan dalam media massa untuk menyampaikan informasi. Dan bahasa yang digunakan tersebut menggunakan bahasa yang sesuai dengan ciri khas dari bahasa jurnalistik itu sendiri. Sehingga hal tersebut akan memudahkan pembaca untuk memahami isi dari informasi yang diberitakan tersebut.

  1. B.       Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam penggunaan bahasa jurnalistik itu tidak boleh sembarangan. Melainkan harus berdasarkan kaidah-kaidah dari bahasa Indonesia itu sendiri. Dan sesuai prinsip-prinsip dasar dalam bahasa jurnalistik yang telah ditentukan. Hal tersebut harus sesuai dengan ciri khas dan karakteristik bahasa jurnalistik yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Ciri tersebut harus dimiliki oleh bahasa jurnalistik karena mengingat bahwa media massa itu sesungguhnyaa dibaca oleh semua lapisan masyaraakaat yang memiliki tingkaat pengetahuan yang berbeda-beda. Berikut penjelasan dari ciri-ciri yaang harus dimiliki oleh bahasa jurnalistik yaitu:[10]
  1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik itu harus menghindari penjelasan yang terlalu panjang dan berbelit-belit. Tetapi juga tidak boleh terlalu hemat.
  2. 2.      Padat, artinya dengan bahasa yang singkat tersebut harus mampu menyampaikan informasi secara lengkap yang dibutuhkan oleh pembaca. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip 5W dan 1H, dan membuang kata-kata yang mubazir, serta menerapkan prinsip ekonomi dalam pembuatan kalimat.
  3. Sederhana, artinya bahasa jurnalistik ini harus menggunakan kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang dan rumit. Selain itu, sederhana berarti menggunakan kalimat yang efektif, praktis, dan tidak berlebih-lebihan.
  4. Lugas, artinya bahasa yang digunakan harus mampu menyampaikan informasi atau berita secara langsung.
  5. Menarik, artinya yaitu harus pandai-pandai mengolah kalimat menjadi menarik sehingga dapat menarik minat pembaca dan kita juga dituntut harus kreatif. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup dan populer dimasyarakat, jangan menggunakan kata-kata yang sudah mati.
  6. Jelas, artinya informasi yang disampikan haarus mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan atau salah pengartian, mengindari ungkapan dan makna ganda, serta menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif.
Dalam bahasa jurnalistik ada empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan oleh Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.[11]
  1. 1.      Prinsip Prosesibilitas
Prinsip ini merupakan suatu proses dimana penulis harus memahami dari pesan yang akan disampaikan. Sehingga pembaca dapat mudah memahaminya, maka di sini penulis harus menentukan beberapa hal yaitu:
a)      Bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan.
b)      Bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan tersebut.
c)      Bagaiman mengurutkan satuan-satuan pesan tersebut.
Ketiga hal di atas akan saling berkaitan. Penyusunan bahasa jurnalistik dengan menerapkan bahasa Indonesia yang baik itu harus cepat menimbulkan pemahaman pembaca dalam kondisi apapun tentang fakta atau berita yang disampaikan. Sehingga, prinsip prosesibilitas ini tidak terlanggar.
  1. 2.      Prinsip Kejelasan
Yaitu prinsip dimana penulis dituntut agar teks dapat mudah dipahami oleh pembaca. Dengan menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (abiguity) sehingga mudah dipahami.
  1. 3.      Prinsip Ekonomi
Yaitu teks harus ditulis sesingkat mungkin tanpa haarus merusak dan mereduksi pesan.
  1. 4.      Prinsip Ekspresivitas
Pinsip ini disebut pula dengan prinsip ikonisitas. Yang mana prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan.
Maka dari itu untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan berbahasa tulis secaraterus-menerus. Serta melakukan penyuntingan tanpa pernah berhenti. Dengan demikian keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang telah ditetapkan dan mudah dimengerti oleh masyarakat serta memuaskan pembacanya akan bisa diwujudkan.

  1. C.   Ejaan dan Tata Tulis Dalam Media Massa
Ejaan ialah keseluruhan sistem dan peraturan penulisan bunyi bahasa untuk mencapai keseragaman. Ejaan ini antara lain meliputi:[12]
  1. Lambang fonem disertai dengan huruf-hurufnya (tata bunyi).
  2. Cara menulis aturan-aturan bentuk kata.
  3. Cara menulis kalimat, bagian-bagiannya, dan penggunaan tanda baca.
Sedangkan ejaan menurut Harimurti Kridalaksana adalah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang distandardisasi. Dan mmenurut Kamus Besar Bahasa Indoesia sendiri ejaan adalah kaidah-kaidah, cara bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca[13]. Maka, ejaan dapat diartikan sebagai alat bantu dalam komunikasi tertulis. Sedangkan dalam komunikasi lisan , kita biasanya dibantu oleh intonasi dan mimik, namun dalam komunikasi tertulis semua itu diganti dengan tanda baca, dan bunyi-bunyi bahasa diganti dengan huruf.
Sehingga pada hakekatnya ejaan adalah sebuah keepakatan untuk menggunakan lambang bunyi tertentu dan tanda-tanda tertentu agar dapat saling dipahami. Dan ejaan ini mengupayakan agar komunikasi dalam bentuk tertulis itu sama baiknya dengan komunikasi lisan melalui tanda-tanda dan simbol-simbol yang sudah disepakati.[14]
Begitu juga penggunaan ejaan dalam media massa juga harus memperhatikan kaidah-kaidah dari bahasa Indonesia yang telah ditentukan. Penggunaan bahasa sehari-hari dalam media massa juga mempunyai arti tersendiri. Namun terkadang, jika kita lihat ada sedikit perbedaan antara ejaan yang digunakan dalam media massa dengan ejaan yang tertulis di buku.
Dalam media massa ada beberapa perubahan, penambahan atau pengurangan pada EYD. Hal ini karena pada media massa terkadang memanfaatkan ejaan itu sebagai gaya saja. Seperti misalnya, penulisan huruf tebal untuk penulisan pertanyaan (Caption), dan huruf tebal untuk nama penulis.[15] Adanya perbedaan tersebut mengakibatkan bahwa ejaan yang digunakan pers itu disebut sebagai ejaan media massa. Namun di sini pers tidak boleh semena-mena dalam mengeja dan harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
  1. 1.      Abjad
Abjad yang digunakan untuk menulis dalam media massa yaitu mengikuti abjad internasional sebagaimana yang tercantum dalam EYD, yaitu:[16]
Huruf
Nama
Huruf
Nama
Huruf
Nama
A a
A
J j
je
S s
es
B b
Be
K k
ka
T t
te
C c
Ce
L l
el
U u
u
D d
De
M m
em
V v
ve
E e
E
N n
en
W w
we
F f
Ef
O o
o
X x
eks
G g
Ge
P p
pe
Y y
ye
H h
Ha
Q q
ki
Z z
zet
I i
I
R r
er


Selain itu terdapat empat gabungan huruf yang melambangkan konsonan, yaitu kh, ng, ny,dan sy. Masing-masing huruf tersebut melambangkan satu bunyi konsonan. Kemudian juga ada vokal rangkap atau diftong, yaitu ai, au, dan oi. Diftong ini melambangkan satu bunyi vokal.[17] Namun, jika penulisan yang menyangkut nama diri itu harus ditulis dengan mengikuti ejaan aslinya, meskipun dianggap salah dalam EYD. Misalnya huruf (j) dilafalkan (y), huruf (dj) dilafalkan (j), dan (tj) dilafalkan (c). Sebagai contoh misalnya, Soeharto bukan ditulis Suharto, dan Universitas Padjadjaran bukan ditulis Universitas Pajajaran.[18]
  1. 2.      Pemenggalan Kata
Aturan pemenggalan kata dalam bahasa Indonesia terdiri dari beberapa butir, yaitu:[19]
  1. Apabila ada dua vokal berurutan atau dua konsonan berurutan, maka pemenggalan dilakukan di antaranya. Misalnya: ca-plok, ma-in, sau-da-ra.
  2. Jika di tengah kata ada huruf konsonan di antara dua vokal, maka pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan. Misalnya: sa-tu, tu-gas.
  3. Jika di tengah kata ada tiga buah huruf konsonan atau lebih, maka pemenggalan dilakukan di antara konsonan pertama dan konsonan kedua. Misalnya: in-fra, sas-tra.
  4. Kata berimbuhan dipenggal dengan mempertahankan keutuhan kata dasarnya. Mislnya: meng-ajar, bel-ajar.
  5. Tidak memenggal kata dengan menyisakan satu huruf. Misalnya:
Tentu saja makanan itu akan lebih enak jika digula-
i. sayangnya, makanan lezat ini tidak disukai semu-
a orang.

Secara umum kita dapat mengatakan bahwa pemenggalan kata sebenarnya dilakukan dengan mengikuti pemisahan suku kata dari kata yang bersangkutan. Namun, dalam media massa aturan pemenggalan pada nama orang, perusahaan, atau instansi sangat dihindari. Dan mereka berusaha menuliskannya secara utuh. Dikarenakan masih terbentur dengan teknologi, media massa sering mendapat kritik mengenai pemenggalan kata.
  1. 3.      Huruf Besar Atau Huruf Kapital
Huruf besar atau huruf kapital menurut EYD digunakan untuk:[20]
  1. Huruf pertama kata pada awal kalimat dan petikan langsung, serta huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat dan sapaan.
  2. Huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, jabatan, pangkat dan keagamaan yang diikuti nama orang atau instansi, lembaga, organisasi, atau nama tempat.
  3. Huruf pertama unsur nama bangsa, suku, bahasa dan geografi.
  4. Huruf pertama nama tahun, buku, hari, dan peristiwa sejarah.
  5. Huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah, nama dokumentasi resmi, nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata di, ke, dari, yang, dan untuk yang tidak terletak di awal kalimat.
  6. Huruf pertama dari setiap bentuk kata ulang sempurna. Namun, hal inilah yang masih kurang dipatuhi oleh media massa. Misalnya: Hati-hati Penalti, Bung! Yang semestinya ditulis Hati-Hati Penalti, Bung!
Namun, dalam media massa pemakaian huruf kapital mendapat tambahan yaitu:
  1. Penulisan caption atau teks foto.
  2. Kata pertama paragraf pembuka atau teras berita.
  3. Seluruh huruf baris pertama dari paragraf pembuka atau teras berita.
  4. 4.      Huruf Miring dan Huruf Tebal
Perkembangan pamakaian huruf miring di media massa lebih banyak dibandingkan yang terdapat dalam EYD, di antaranya yaitu:[21]
  1. Untuk menuliskan semua nama media massa cetak atau elektronik.
  2. Untuk nama kapal dan pesawat dan nama kantor berita.
  3. Untuk tema atau judul seminar atau pameran.
  4. Untuk menuliskan pertanyaan dalam tulisan yang berbentuk tanya jawab.
  5. Untuk menulisakan nama rubrik dan nama program acara di televisi.
Begitu pula dalam pemakaian huruf tebal dalam media massa juga sangat banyak, seperti:[22]
  1. Untuk penulisan judul dan caption atau teks foto.
  2. Untuk pertanyaan dalam suatu tulisan yang berbentuk tanya jawab.
  3. Untuk penulisan nama tokoh publik dalam rubrik.
  4. Nama penulis atau pelapor dalam tubuh tulisan.
  5. Untuk lead alias teras berita dan penulisan subjudul.
  6. 5.      Tanda Baca
Penulisan tanda baca dalam media massa juga harus diperhatikan, di abtaranya seperti:[23]
  1. a.    Tanda Titik (.)
Digunakan pada:
a)    Akhir kalimat.
b)   Memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu
c)    Memisahkan bilangan ribuan dan kelipatannya.
d)   Akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat, dan sapaan.
Namun, sebagian media massa tidak menggunakan titik pada singkatan grlar akademis ataupun singkatan lainnya, karena adanya tanda titik itu akan membuat kitan menjadi kurang lancar dalam membacanya.
  1. b.   Tanda Koma (,)
Tanda baca ini dipergunakan untuk:
a)    Memisahkan induk kalimat dari anak kalimat.
b)   Digunakan dalam kalimat majemuk setara yang menggunakan konjungsi tetapi, melainkan.
c)    Di belakang kata atau ungkapan penghubungan antar kalimat yang terdapat pada posisi awal dan di belakang kata seruan.
d)   Memisahkan petikan langsung dari bagian lain dan menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya.
e)    Di antara tempat penerbitan, nama penerbit, dan tahun terbitan serta untuk mengapit keterangan tambahan, aposisi, sisipan, dan sebagainya.
f)    Untuk menghindari salah baca.
Pemakaian tanda koma ini tidak boleh dianggap remeh, karena tanda koma merupakan tanda baca yang paling tinggi tingkat kesalahannya. Pemakaian tanda koma tidak hanya dapat mengubah arti, melainkan juga menyangkut cita rasa yaitu nada dan irama kalimat. Karena jika tidak menggunakan tanda koma, kalimat akan terasa monoton, tersendat, dan kurang enak dinikmati.

  1. c.    Tanda Titik Koma (;)
Digunakan untuk:
a)    Memisahkan bagian-bagian kalimat sejenis dan setara.
b)   Sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat setara dalam kalimat majemuk.
  1. d.   Tanda Titik Dua (:)
Digunakan untuk:
a)    Pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian.
b)   Sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.
c)    Dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku.
  1. e.    Tanda Hubung (-)
Tanda baca ini digunakan untuk:
a)    Menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian baris.
b)   Menyambung awalan dengan kata di belakangnya atau akhiran dengan kata di depannya pada pergantian baris.
c)    Menyambut unsur-unsur kata ulang, dan huruf kata yang dieja satu-satu serta bagian tanggal.
  1. f.     Tanda Pisah (_)
Digunakan untuk:
a)    Membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar kalimat.
b)   Menegaskan adanya keterangan aposisi atau yang lain sehingga kalimat menjadi jelas.
c)    Dipakai di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti sampai ke atau sampai dengan.
  1. g.    Tanda Elipsis (…)
Tanda elipsis digunakan untuk kalimat yang terputus-putus dan untuk menunjukkan bahwadalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan.



  1. h.   Tanda Tanya (?)
Tanda tanya digunakan pada akhir kalimat tanya atau untuk menanyakan bagian kalimat yang disangsikan atau kurang dapat dibuktikan kebenarannya dan di tulis dalam kurung (?).
  1. i.      Tanda Seru (!)
Yaitu dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, atau emosi.
  1. j.     Tanda Kurung ((…))
Digunakan untuk:
a)    Mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
b)   Mengapit keterangan huruf atau kata yang kehadirannya dalam teks tidak dihilangkan.
c)    Mengapit angkaa atau huruf yang memperinci satu urutan keterangan.
  1. k.   Tanda Kurung Siku ([…])
Tanda baca ini digunakan untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok kata yang menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu memang terdapat dalam naskah asli. Serta untuk mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudaah bertanda kurung.
  1. l.      Tanda Petik (“…”)
Tanda petik digunakan untuk mengapit petikan yang tersusun dalam petikan lain dan mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata atau ungkapan asing.
m. Tanda Garis Miring (/)
Tanda garis miring digunakan dalam nomor surat, alamat, dan sebaagai pengganti kata atau, tiaap, dan per.
  1. n.   Tanda Penyingkat atau Apostrof (’)
Tanda baca ini digunakan untuk menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun.
Namun, setelah melihat pemakaian ejaan dan tata tulis di media massa, ternyata ada beberapa tambahan mengenai tata tulis pada media massa. Hal ini dikarenakan media massaa memiliki bahasa yang mandiri. Penambahan itu di antaranya yaitu:[24]
  1. 1.      Penulisan Baris Nama atau By Line
Yaitu nama penulis dicantumkan di awal tulisan yang ditulis dengan tanpa menggunakan titik dua (:) karena bukan merupakan rincian. Misalnya: Oleh Bondan Winarno.
  1. 2.      Penulisan Angka
Yaitu umumnya angka satu sampai sembilan ditulis dengan huruf, kecuali diikuti satuan hitung, satuan ukur, atau satuan mata unag. Contohnya: Rp 50, 40 kg, dan sebagainya. Dan jika dalam perincian, angka satu sampai sembilan ditulis dengan angka. Misalnya: Dia membeli 3 ekor sapi, 5 ayam, dan 7 bebek.
  1. 3.      Penulisan Gelar Akademis
Gelar akademis yang lazimnya ditulis mengikuti nama orang, cenderung tidak dicantumkan tetapi ditulis secara lengkap. Misalnya:
Ginandjar Kartasasmita masuk bursa calon wakil presiden. Namun, profesor yang satu ini Cuma menyatakan, “Saya cukup tahu diri.”
Namun, ada beberapa media massa yang tetap mencantumkannya, misalnya:
Prof. Dr. Ginandjar Kartasasmita masuk bursa calon wakil presiden. Namun, iacuma mengatakan, “Saya cukup tahu diri.”
  1. 4.      Penulisan Judul
Penulisan judul itu harus padat, ringkas, dan komunikatif. Dan biasanya merupakan rangkuman atau intisari dari teras (lead) tulisan. Pada media massa judul ditulis dengan huruf besar dan kecil atau capital undercash, dan menyerupai kalimat. Biasanya berbentuk puitis, bombastis, nyentrik, analogi, kutipan, prediksi, dan formal.

  1. D.   Penyimpangan Bahasa Jurnalistik
Meskipun bahasa jurnalistik mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan, namun masih terlihat penyimpangan terhadap kaidah bahasa jurnalistik yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Demikian pula penyimpangan mengenai tataran tanda baca. Penyimapangan bahasa jurnalistik ini sepertinya menjadi hal yang lazim, sehingga bahasa jurnalistik dianggap sebagai perusak bahasa Indonesia. Mestinya bahasa junalistik tetap harus mengacu pada kaidah bahasa yang telah baku, karena media massa sangat erat kaitannya dengan masyarakat.
Adapun beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dari kaidah bahasa Indonesia baku, yaitu:[25]
  1. 1.      Penyimpangan Klerikal (Ejaan dan Tanda Baca)
Kesalahan ini sering kali kita temukan dalam media massa, baik dalam penulisan kata, seperti Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis kuatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron. Dan kesalahan tanda baca juga dapat ditemui dalam penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda hubung, dan lain-lain.
Berikut ada beberapa kata yang sering salah ejaannya dalam media massa diantaranya yaitu:[26]
Baku
Nonbaku
Baku
Nonbaku
Iktikad
Itikad
rezeki
Rejeki
Analisis
Analisa
jagat
Jagad
Zaman
Jaman
riil
Riel
Aksesori
Asesoris
jenderal
Jendral
Asasi
Azasi
karier
Karir
Dividen
Deviden
miliar
Milyar
Guncang
Goncang
survei
Survai
Hektare
Hektar
omzet
Omset
Izin
Ijin
penasihat
penasehat
Yodium
Iodium
apotek
Apotik
Elite
Elit
tekad
Tekat
Bonafide
Bonafid
nekat
Nekad

Maka dalam memilih ejaan kata yang tepat kita harus memerlukan sedikit ketelitian. Karena bahasa Indonesia banyak memiliki bentuk kembar, seperti kata risiko-resiko, sekadar-sekedar, Senin-Senen, film-pilem, juang-joang.[27] Memang kata-kata seperti itu sering kali membuat kita bingung dan akhirnya kita membuat kesalahan dalam penulisannya. Biasanya hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari bahasa daerah. Maka kita harus memilih ejaan yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
  1. 2.      Penyimpangan Gramatikal
Penyimpangan gramatikal ini terdiri atas:[28]
  1. Kesalahan Pemenggalan
Kesalahan pemenggalan kata dalam media massa terkesan asal penggal saja. Hal ini dikarenakan pemenggalannya menggunakan program komputer bahasa asing. Dal hal ini bisa diatasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
  1. Penyimpangan Morfologis
Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita dalam media massa yang menggunakan kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Misalnya: “Muluskan Boediono, Lobi Komisi IX”, “Cemburu, Pelajar Bunuh Pelajar”, “Ngaku Buat Jaga Diri Bapak-Bapak Ditangkep Pulisi Karena Bawa Sajam”.
  1. Kesalahan Sintaksis
Kesalahan ini yaitu berupa pemakaian tata bahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan arti dari kalimat tersebut. Hal ini disebabkan karena logika penulis yang kurang bagus. Contoh: “Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat”. Judul tersebut seharusnya ditulis, “Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika Serikat”.
  1. 3.      Penyimpangan Semantik
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau menimbulkan dampak buruk pemberitaan  dan untuk melebih-lebihkan (bombastis). Contoh: Penyesuaian tarif BBM merupakan kebijakan pemerintah yang tidak populis. Pemakaian kata penyesuaian tarif, tidak dapat dimaknai dari segi makna lugas saja melainkan juga harus dilihat dari makna figuratif (kias) yang mengandung eufimismedengan alasan kesopanan.
  1. 4.      Penyimpangan Dari Aspek Kewacanaan
Penyimpangan ini dapat diketahuai dari aspek kewacanaan dari penggunaan bahasa yang dilihat dari makna bahasa yang berkaitan dengan aktivitas dan sistem-sistem di luar bahasa. Contoh penyimpangan dari aspek kewacanaan ini yaitu berita tentang tragedi kematian Munir (Pejuang HAM). Meski pelaku dan dalang pembunuhnya belum ditemukan, namun media massa telah membentuk opini masyarakat tentang para pelakunya. Pemberitaan tersebut memiliki pendapat yang berbeda dari masing-masing media sehingga menjadikan isi berita menjadi tidak realistis. Bahkan, terlalu dibesar-besarkan sehingga membuat para pembacanya bingung.
Permasalahan yang muncul adalah masalah peminjaman istilah-istilah atau kata-kata asing yang pada dasarnya sudah populer di masyarakat. Penggunaan istilah asing tersebut telah bertaburan di media massa. Tetapi, penggantian istilah asing yang tidak ada penggantinya dalam bahasa Indonesia akan menimbulkan kesulitan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, maka perlu dilakukan penyuntingan atau editing  baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, ejaan, serta pemakaian bahasa jurnalistikyang baik secara umum. Agar penulis atau wartawan mampu memilih kosakata yang tepat, maka  mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang sama, yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya.
Dengan demikian,penulis atau wartawan bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Sementara dalam penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan:[29]
  1. Balancing, yaitu menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan.
  2. Visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data yang aktual.
  3. Logika cerita yang mereferensi pada kecocokan.
  4. Akurasi data.
  5. Kelengkapan data, setidaknya prinsip 5wh.
  6. Panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.
Oleh karena itu diperlukan latihan menulis secara terus-menerus, dan latihan penyuntingan yang berkelanjutan. Dengan  upaya pelatihan dan penyuntingan tersebut, maka diharapkan seorangjurnalis dapat  menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan selera pembacanya, pendengarnya, atau penontonnya.

  1. E.   Kendala Berbahasa Yang Baik Dalam Jurnalistik
Pertanggung jawaban media massa terhadap bahasa yang ditulisnya sangatlah berat. Hal ini karena media massa memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran dan pembinaan bahasa Indonesia. Namun, ada beberapa kendala yang dapat menghalangi terwujudnya bahasa jurnalistik yang baik dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Kendala-kendala tersebut di antaranya yaitu:[30]
  1. 1.      Menulis di Bawah Tekanan Waktu
Kecepatan merupakan salah satu keharusan dalam dunia jurnalistik. Baik kecepatan dalam penyampaian informasi, maupun kecepatan dalam menulis naskah berita karena dikejar waktu oleh tenggat (deadline) yang harus dipatuhi. Sehingga mengakibatkan penulis tidak punya waktu untuk memperbaiki tulisannya, untuk memperindah tulisannya dengan pilihan kata-kata yang tepat, untuk menghilangkan kalimat-kalimat yang tidak perlu agar tulisannya menjadi lebih baik dan sempurna.
  1. 2.      Kemasabodohan dan Kecerobohan
Selain tergesa-gesa, hal lain yang menjadi kendala adalah karena faktor kemalasan. Kemalasan berfikir maupun mencari kata-kata atau istilah-istilah yang tepat menjadi faktor yang paling mempengaruhinya. Karena orang cenderung mengikuti apa yang sudah dilakukan orang lain dan tidak mau menciptakan sendiri. Sehingga dengan adanya sifat malas ini, maka akan timbul sikap masa bodoh yang kemudian menimbulkan kecerobohan. Para wartawan ceroboh karena menggunakan istilah-istilah yang yang sudah klise. Dan tidak ada penyegaran dalam penggunaan diksi.
Kemasabodohan dan kecerobohan juga muncul ketika penulis berita malas mencari kata-kata yang tepat untuk sesuatu maksud yang hendak disampaikan. Padahal ini merupakan kunci untuk menulis dengan baik. Jika bahasa Indonesia digunakan dengan baik dan benar, maka akan menjadi alat efektif untuk menyampaikan informasi atau berita.
  1. 3.      Tidak Mau Mengikuti Petunjuk
Banyaknya penyimpangan dalam penggunaan ragam bahasa jurnalistik ini juga dikarenakan petunjuk dalam menggunakan bahasa tertulis itu tidak diikuti dengan semestinya. Petunjuk dalam menggunakan bahasa jurnalistik ini yaitu berupa tata bahasa, kamus, dan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), serta Sepuluh Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers. Adapun contoh kalimat yang rancu akibat tidak mengikuti petunjuk, yaitu:
Dengan didirikannya koperasi di desa itu, akan memberikan kesejahteraan kepada warga.
Jika dilihat, kalimat tersebut terdiri dari dua frasa, yaitu frasa dengan didirikannya koperasi dan frasa memberikan kesejahteraan. Padahal, sebagai kalimat majemuk, kalimat tersebut harus terdiri dari anak kalimat dan induk kalimat dengan kontruksi kalimat yang smpurna. Yaitu terdiri dari subjek, predikat, dan objek. Sehingga kalimatnya menjadi:
Dengan didirikannya koperasi di desa itu, kesejahteraan pun akan dapat diberikan kepada warga.


  1. 4.      Mencontoh Bahasa Publik Figure
Dalam dunia jurnalistik, penggunaa kata-kata pada dasarnya akan menjadi mode karena penggunaannya secara menarik telah diawali olreh majalah tempo. Ikut-ikutan seperti itu tidak dilarang, namun jika kata-kata populer terlalu sering digunakan, maka pesonanya akan lenyap, dan akan menjadi tidak menarik lagi.
  1. 5.      Kesalahan Pemilihan Diksi
Pemilihan kata atau diksi merupakan hal penting dalam menulis, terutama dalam menulis berita untuk surat kabar. Ketepatan dalam memilih kata untuk kalimat yang dibuat harus diperhatikan. Contoh kalimat yang menunjukkan kesalahan dalam pemilihan diksi, yaitu:
Perampok itu menginjak punggung pembantu rumahtangga tersebut ketika perempuan itu jatuh terlentang.
Berdasarkan kalimat di atas, kata terlentang artinya tergeletak dengan wajah ke atas. Jadi, mustahil jika pembantu tersebut diinjak punggungnya.
Penggunaan bahasa Indonesia yang rusak dalam media massa dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.[31] Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah perilaku Pusat Bahasa yang dinilai tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang muncul dari kalangan media massa itu sendiri. Serti yang diakibatkan oleh target pasar, kemampuan berbahasa sumber daya manusia, dan arogansi kalangan pers.
Oleh karena itu, beberapa media massa yang menyadari kekurangan itu mulai merubah struktur organisasi bagian redaksi mereka. Yaitu dengan menempatkan editor/redaktur bahasa. Editor/redaktur bahasa inilah yang akan menjadi polisi bahasa dalam media massa. Yang akan membantu dalam penyusunan kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan.[32]



  1. F.     Kalimat Yang Informatif Dalam Media Massa
Para wartawan memang menyampaikan informasi dalam bentuk kalimat. Namun, yang menjadi persoalannya adalah mereka masih kurang mampu dalam pemanfaatan kalimat yang baik dan benar yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Sehingga mengakibatkan pembaca kesulitan dalam membaca informasi tersebut. Hal itu dikarenakan lantaran penulis atau wartawan dihantui oleh mitos bahwa mengikuti aturan baku, hanya akan membuat kalimat menjadi kaku dan kurang menarik. Padahal, justru akan memperjelas informasi yang ingin disampaiakan.
Berikut contoh kalimat yang tidak informatif dan kalimat yang informatif dalam media massa, yaitu:[33]
  1. Kalimat yang tidak informatif
Diduga dibeli besar-besaran oleh penimbun minyak tanah yang melakukan spekulasi untuk meraih keuntungan besar menjelang kenaikan BBM mulai Sabtu (1/4) ini.
(Suara Pembaruan, 28 Maret 2000)
Dari contoh di atas, kita dapat menemukan bahwa itu bukanlah sebuah kalimat. Melainkan hanya keterangan saja. Dan kalimat tersebut tidak jelas maksudnya. Karena kalimat tersebut mengabaikan aturan baku, bahwa kalimat itu harus mempunyai subjek dan hanya mengandung satu gagasan.
  1. Kalimat yang informatif
Menteri Pendidikan Nasional Yahya A. Muhaimin menyatakan sangat kecewa kepada para guru yang mogok mengajar.
(Kompas, 11 April 2000)
Dari contoh di atas, itu merupakan kalimat yang informatif. Karena informasi yang disampaikan lebih jelas karena memiliki subjek dan ada kesatuan gagasan. Dan inilah yang disebut dengan kalimat.
Kalimat yang informatif dalam media massa selain memiliki subjek, sebaiknya kalimat tersebut juga memiliki predikat dan objek yang jelas. Dan bila perlu sebaiknya ditambahkan keterangannya. Namun, pada hakikatnya kalimat itu hanya terdiri dari subjek dan predikat. Suatu kalimat akan menjadi panjang apabila adanya penambahan keterangan terhadap subjek atau predikat tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa, penambahan keterangan ini dilakukan untuk lebih memperjelas maksud dari kalimat tersebut. Dengan demikian pembaca akan lebih jelas menangkap informasi yang disampaikan.
Selain itu juga, kalimat yang digunakan haruslah kalimat yang efektif. Hal ini demi kenyamanan dan kejelasan informasi yang diperoleh oleh pembaca. Kalimat yang efektif itu meruoakan kalimat yang memiliki unsur kelemahan kata, pelepasan, dan kesejajaran, baik kesejajaran bentuk, maupun kesejajaran makna.[34] Namun, yang terpenting semua itu harus dapat menggambarkan ketepatan antara gagasan penulis dengan yang diserap oleh pembaca. Jadi, apabila kita menerapkan semua unsur dari kalimat yang efektif, tetapi kalimat menjadi tidak jelas, tentu saja kalimat tersebut tidak bisa disebut sebagai kalimat yang efektif.
Selain itu juga kalimat yang digunakan harus dapat memikat pembaca dengan kekayaan bahasa Indonesia. Seperti menggunakan idiom dan peribahasa. Idiom adalah kekayaan bahasa Indonessia yang tidak dapat dipersamakan dengan bahasa lain di dunia. Contoh kata idiom ini yaitu: dunia hitam, gulung tikar, mausia kardus, gandeng renteng, dan sebagainya.[35]
Dalam pers Indonesia penggunaan idiom atau ungkapan sering dihubungkan dengan berbagai peritiwa. Idiom ini berguna untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara yang berbeda dan lebih hidup. Begitu pula halnya dengan peribahasa. Namun, frekuensi pemakaian peribahasa tidak banyak. Terkadang peribahasa digunakan untuk sekedar melembutkan atau menggambarkan suatu kesan dengan lebih baik.
Jadi, dalam menulis di media massa kita juga harus memperhatikan bagaimana cara pembuatan kalimat yang informatif. Agar informasi yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh pembaca. Dan tidak menimbulkan kesalahan dalam pengartiannya.


BAB III
PENUTUP


A.Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa junalistik itu merupakan bahasa yang digunakan oleh para pewarta berita dalam menyampaikan infomasi atau berita khususnya media massa. Dan penggunaan bahasa Indonesia dalam ragam  jurnalistik  secara umum masih belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini karena para redaktur dan editor surat kabar masih belum sepenuhnya berpedoman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), serta masih kurangnya pengetahuan para wartawan mengenai pemakaian ejaan dan tata tulis yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
Sehingga mengakibatkan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam media massa. Seperti, penyimpangan klerikal (ejaan dan tanda baca), penyimpangan gramatikal (pemenggalan, morfologis, dan sintaksis), dan penyimpangan semantik serta penyimpangan dari aspek kewacanaannya.
Dan penggunaan bahasa yang belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia tersebut dapat berpengaruh pada penggunaan dan pengembangan bahasa Indonesia di masyarakat. Karena media massa yang beredar di masyarakat memberikan banyak konstribusi yang besar terhadap upaya memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar melalui tulisan-tulisannya, khususnya pada halaman utama dan terakhir yang biasa pertama kali dibaca oleh pembaca.

[1] Anwar Efendi, Bahasa dan Sastra Dalam Berbagai Perspektif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008, hal. 65
[2]Ibid.
[3] file:///D:/Ma-KuL.%20B.%20InDOnEsIa/bahasa-jurnalistik-dalam-media-massa-506917.html
[4] Tri Adi Saswoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007, hal. 1
[5] file:///D:/Ma-KuL.%20B.%20InDOnEsIa/bahasa-jurnalistik-dalam-media-massa-506917.html
[6] Anwar Efendi, Bahasa dan sastra Dalam Berbagai Perspektif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008, hal.66
[7] Bakti Komala Sari, Jurnalistik, Curup: LP2 STAIN Curup, 2010, hal. 54
[8] Anwar Efendi, op. cit., hal. 66
[9] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007, hal. 2
[10] Anwar Efendi, Bahasa dan Sastra Dalam Berbagai  Perspektif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008, hal. 72
[11] Anwar Efendi, Bahasa dan Sastra Dalam Berbagai Perspektif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008, hal. 73
[12] DEdi S, EYD Plus, Jakarta: Redaksi Lima Adi Sekawan, 2007, hal. 1
[13] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007, hal. 13
[14]Ibid.
[15] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007, hal. 17
[16]Ibid.
[17]Ibid, hal. 18
[18] Dedi S, EYD Plus, Jakarta: Redaksi Lima Adi Sekawan, 2007, hal. 4
[19] Dedi S, EYD Plus, Jakarta: Redaksi Lima Adi Sekawan, 2007, hal. 9
[20]Ibid.
[21] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007, hal. 24
[22]Ibid, hal. 26
[23] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007,hal. 30
[24] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalitik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007, hal. 16
[25] Anwar Efendi, Bahasa dan Sartra Dalam Berbagai Perspektif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007, hal. 67
[26] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007, hal. 54
[27] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007,
hal. 53
[28] Anwar Efendi, Bahasa dan Sartra Dalam Berbagai Perspektif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007, hal. 67
[29] file:///D:/Ma-KuL.%20B.%20InDOnEsIa/penyimpangan-bahasa-jurnalistik.html
[30] Anwar Efendi, Bahasa dan Sartra Dalam Berbagai Perspektif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007,  hal. 70
[31] Anwar Efendi, Bahasa dan Sartra Dalam Berbagai Perspektif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007, hal. 72
[32]Ibid.
[33] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007, hal. 99
[34] Tri Adi Sarwoko, Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007, hal. 106


Sumber https://nurulfatirohstain.wordpress.com/2013/05/29/ragam-bahasa-jurnalistik-dalam-media-massa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar